Tafsir Ayat Pencurian dan Hukum Potong Tangan
1.
Nash Ayat
وَ
السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاعْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءُ بِمَا كَسَبَا نَكَلًا
مِنَ اللهِ.. وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (المائدة : ۳۸)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (Qs.
Al- Maidah : 38)
2.
Mufradat
Penting
وَ السَّارِقُ : Pencuri
Laki-laki
وَالسَّارِقَةُ : Pencuri
Perempuan
فَاعْطَعُوا : Potonglah
(Sebuah hukuman atau ganjaran yang di berikan kepada si pencuri)
نَكَلًا : Hukuman
dari atas apa yang telah di perbuat (mencuri) akan tetapi melalui perantara
manuasia.
3.
Sebab Turunnya
Ayat
Ayat ini turun pada Thu’mah bin Ubairiq ketika mencuri baju perang
milik tetangganya, Qatadah bin An- Nu’man. Baju itu laludisembunyikan di rumah
Zaid bin As- Samin seorang yahudi. Namun terbawa juga kantung berisi tepung
yang bocor sehingga tercecerlah tepung itu dari rumah Qatadah sampai ke rumah
Zaid.
Ketika Qatadah menyadari baju perangnya dicuri, dia menemukan jejak
tepung itu sampai ke rumah Zaid. Maka diambillah baju
perang itu dari
rumah Zaid. Zaid berkata,”Saya diberi oleh Thu’mah”. Dan
orang-orang bersaksi membenarkannya. Saat itu Rasulullah SAW ingin mendebat
Thu’mah, lalu turunlah ayat ini yang menerangkan tentang hukum pencurian.
Sedangkan sebab turun ayat selanjutnya yaitu ayat 39 adalah riwayat
dari Ahmad dari Abdillah bin amru bahwa seorang wanita telah mencuri di
masa Rasulullah SAW. Lalu dipotonglah
tangan kanannya. Wanita itu lalu bertanya,”Masih mungkinkah bagi saya untuk
bertaubat ?”. Maka turunlah ayat yang artinya Maka barangsiapa bertaubat
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
4.
Hukum Yang
Terkandung di Dalamnya.
Allah SWT telah menetapkan hukum had bagi pencuri yang memenuhi
kriteria pencurian, yaitu dengan dipotong tangannya. Dalilnya adalah firman
Allah SWT :
وَ
السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاعْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءُ بِمَا كَسَبَا نَكَلًا
مِنَ اللهِ.. وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (المائدة : ۳۸)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS Al-Maidah : 38)
Dalil dari sunnah Rasulullah SAW :
Dari Asiyah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Orang-orang sebelummu
itu binasa karena pembesar mencuri dibiarkan dan bila orang lemah yang mencuri
barulah dihukum”. HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmizy, Abu Daud dan
An-Nasai.
Para ulama sepakat bahwa selain dipotong tangannya juga wajib
mengganti harta yang diambilnya tanpa hak itu. Hal itu bila barang yang
diambilnya masih ada di tangan. Namun bila harta yang dicuirnya itu sudah habis
atau sudah tidak di tangannya lagi, bagaimana hukumnya ?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :
a)
Al-Hanafiyah berpendapat bahwa bila harta yang dicuri itu sudah tidak ada lagi,
maka cukup dipotong tangannya saja dan tidak diwajibkan mengganti. Alasannya
karena Allah SWT tidak menyebutkan kewajiban untuk mengganti. Padahal dalam
ayat yang mewajibkan potong tangan itu, Allah tidak memerintahkan keharusan
untuk mengganti harta yang diambilnya.
Alasan lainnya yang menguatkan adalah hadits Rasulullah SAW,”Apabila
seorang pencuri dipotong tangannya, maka tidak perlu mengganti”.[1]
Bahkan bila masalahnya diangkat ke pengadilan dan pencuri itu mengembalikan,
maka menurut pendapat ini, tidak perlu dipotong tangannya.
b)
Al-Malikiyah berpendapat bahwa pencuri itu
orang berada, maka selain dipotong tangannya juga wajib mengganti barang
yang diambilnya. Ini sebagai bentuk peringatan untuknya. Namun bila
pencuri itu miskin dan tidak mampu mengganti, maka cukup
dipotong tangannya saja tanpa kewajiban mengganti.
c)
Sedangkan Asy-Syafi`iyah
dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa baik potong tangan maupun
mengganti harta yang
diambil harus diterapkan. Bila barang yang diambil itu sudah hilang,
wajib mengganti senilai harganya. Hal ini dengan tidak membedakan antara apakah pencuri itu mampu
atau tidak mampu. Karena potong tangan itu kewajiban kepada Allah dan mengganti
itu kewajiban kepada manusia.
Dan masing-masing memiliki latar belakang perintah kewajiban yang
berbeda-beda.Dan pendapat inilah yang paling rajih dan mendekati kebenaran.
Karena hadits yang digunakan Al-Hanafiyah adalah hadits dha`if.
Bila
pencurian dilakukan berkali-kali Bila seorang pencuri yang telah pernah dihukum
potong tangan, lalu kedapatan
mencuri lagi, bagaimana
bentukhukumannya ? Apakah dipotong lagi atau tidak ?
Bila
seorang pencuri terbutki mencuri untuk pertama kalinya, para
ulama sepakat untuk memotong tangan pencuri yaitu tangan kanannya. Sedangkan
bila untuk kedua kalinya terbutki
mencuri lagi, maka ulama pun sepakat untuk memotong kaki kirinya.Tapi para
ulama berbeda pendapat bila pencuri itu untuk ketiga kalinya mencuri lagi.
Bagaimanakah hukumnya bila masih mencuri lagi untuk yang ketiga kalinya ?
Dalam hal ini
para ulama berbeda pandangan :
a)
Al-Hanafiyah dan Al- Hanabilah berpendapat bila mencuri lagi untuk
ketiga kalinya, maka tidak perlu lagi dipotong tanganya, tapi cukup dihukum
ta`zir dan dipenjara hingga taubat.Dalilnya
yang mereka gunakan adalah hadits
berikut :
Diriwayatkan
bahwa kepada Sayyidina Ali ra. didatangkan soerang pencuri lalu
dipotonglah tangannya. Kemudian
didatangkan kepadanya yang kedua dan telah mencuri maka dipotonglah kakinya.
Kemudian didatangkan yang ketiga namun beliau berkata,”Aku tidak akan
memotongnya, karena bila kupotong maka dengan apa dia akan makan dan
yatamassah. Dan bila kupotong kakinya maka dengan apa dia akan berjalan.
Sungguh aku malu kepada Allah”. Maka dipukullah pencuri itu dengan kayu dan dipenjarakan.”
(HR. Ad-Daruquthuny dan Muhammad bin
Al-Hasan dalam kitab al-Asar).
b)
Al-Malikiyah dan Asy- Syafi`iyah berpendapat bahwa bila mencuri lagi
untuk yang ketiga kalinya, maka tangan kirinya dipotong. Dan
bila mencuri lagi untuk yang keempat kalinya, maka kaki
kanannya yang dipotong. Bila mencuri lagi setelah itu barulah dia dihukum
ta`zir.Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari
Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang pencuri,”Bila mencuri
maka potonglah tangan
(kanan)nya, bila mencuri lagi
maka potonglah kaki (kiri)nya, bila mencuri lagi maka potonglah tangan
(kiri)nya dan bila mencuri lagi maka potonglah kaki (kanan)nya”. (HR.
Ad-Daruquthuni dan As-Syafi`i).
Sedangkan
hikmah dari dipotongnya tangan dan kaki karena tangan digunakan untuk mengambil
dan kaki digunakan untuk membawa lari curiannya itu. Sedangkan dipotong secara
bersilang adalah agar terjadi keseimbangan dan masih bisa dimanfaatkannya
anggota tubuhnya yang tersisa.[2]
5.
Sifat Had
Hukuman
yang dijatuhkan kepada pencuri merupakan bentuk hukuman had (jama`nya : hudud)
yang telah ditetapkan oleh Allah. Karena itu tidak boleh untuk dirubah atau
diganti bentuk hukumannya bahkan oleh Rasulullah SAW sekalipun. Begitu juga
bentuk hukuman ini tidak mengenal pengampunan,
permaafan atau damai
antara kedua belah pihak bila telah
diketuk palu oleh hakim. Seandainya seorang hakim telah memvonis pencuri
dengan potong tangan lalu pihak yang kecurian mengampuni dan memaafkan, tidak
bisa dicabut lagi hukuman potong tangan ini.
Mengapa
? Karena pengampunan itu memang hak pihak yang kecurian, sedangkan potong
tangan adalah hak Allah SWT. Berangkat
dari logika ini,
Al-Hanafiyah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi,”Damai dari
masalah hudud adalah batil”.[3]
Hal
seperti ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW, yaitu seorang telah memaafkan
pencuri yang mencuri barangnya, tapi kasusnya sudah masuk dan diangkat ke
pengadilan. Sehingga tidak bisa dihalangi lagi eksekusi potong tangan tersebut
karena vonis telah jatuh.
Dalam
kisah yang sangat masyhur tentang Fatimah Al- Makhzumiyah yang dimintakan
kepada Rasulullah SAW agar tidak diberlakukan hukum potong tangan. Seorang
pencuri dihadapkan kepada Rasulullah SAW maka beliau perintahkan untuk dipotong
tangannya. Namun seseorang berkata,”Ya Rasulullah, kami tidak mengira anda akan
melakukan itu”. Beliau menjawab, ”Walaupun Fatimah binti Muhammad
mencuri, maka tetap tegakkan hukum HAD (potong tangan)”. (HR Muttafaqun
Alaih)
Dari
Rabiah bin Abdirrahman dari Az-zubair berkata, ”Bila hukuman had sudah
sampai kepada sultan, maka Allah melaknat orang yang minta
keringanan dan memberikan
keringanan”. (HR. Malik dalam Al-Muwattha`)